JAKARTA - China kian menunjukkan taringnya di ranah teknologi global, khususnya dalam pengembangan kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI).
Dalam beberapa bulan terakhir, Negeri Tirai Bambu memamerkan sederet teknologi AI yang menjadi buah bibir dunia, mulai dari kehadiran DeepSeek dan Manus AI, hingga chip kuantum super cepat Zuchongzhi-3.
Ketiganya bukan sekadar pencapaian teknologi biasa, namum bisa jadi simbol ambisi besar China untuk menyaingi dominasi Amerika Serikat di industri AI.
Meskipun menghadapi berbagai sanksi dan pembatasan teknologi dari AS sejak era Presiden AS Donald Trump, China justru semakin agresif membangun ekosistem AI-nya sendiri.
Tak heran, persaingan antara dua raksasa dunia ini pun makin memanas. Lantas, apa saja teknologi AS asal China yang siap menantang dominasi AI dari Negeri Paman Sam?
DeepSeek
DeepSeek menjadi salah satu gebrakan terbesar China dalam teknologi kecerdasan buatan. Dikembangkan oleh perusahaan rintisan High Flyer asal Hangzhou dan dipimpin oleh Liang Wenfeng, DeepSeek tidak hanya tampil sebagai chatbot biasa. Ia hadir sebagai penantang serius dominasi OpenAI dan Google di pasar AI global.
Sejak diluncurkan, DeepSeek langsung mencuri perhatian. Aplikasi ini sempat menjadi aplikasi gratis teratas di Apple App Store di 111 negara dan menduduki peringkat pertama di Google Play Store di 18 negara.
Popularitas ini didorong oleh kemampuannya dalam menjawab pertanyaan, menganalisis data, hingga membuat konten kreatif sesuai permintaan pengguna dengan efisiensi dan kecepatan yang mumpuni.
Kesuksesan DeepSeek tak lepas dari dua model AI andalan mereka yaitu DeepSeek V3 dan DeepSeek R-1. Model V3, yang dirilis pada Desember 2024, menggunakan arsitektur Mixture-of-Experts (MoE) dengan total 671 miliar parameter.
Namun hanya 37 miliar parameter yang diaktifkan per token, membuatnya lebih efisien dalam konsumsi daya komputasi. Satu bulan kemudian, DeepSeek kembali membuat kejutan dengan meluncurkan DeepSeek R-1 yaitu versi lanjutan dengan kemampuan bernalar yang lebih kompleks.
Menariknya, R-1 ini dikembangkan menggunakan chip AI dengan spesifikasi rendah, namun tetap mampu memberikan performa setara, bahkan dalam tugas-tugas kompleks seperti matematika tingkat lanjut, logika berantai, dan pemrograman.
Baca juga: Bobby Ingatkan Warga Sumut Terima Keputusan 4 Pulau: Aceh Tetangga Kita, Jangan Mau Terhasut
DeepSeek R-1 dilatih hanya dalam waktu dua bulan dengan biaya sekitar 6 juta dolar AS (sekitar Rp 97 miliar), jauh lebih murah dibanding pengembangan GPT-4 yang menelan biaya sekitar 63 juta dolar AS.
Efisiensi ini menjadi nilai jual utama, dan membuat banyak pihak menilai DeepSeek sebagai ancaman nyata bagi pemain besar di industri AI.
Dampaknya pun terasa nyata. Pada Januari 2025, lonjakan popularitas DeepSeek memicu reaksi pasar yang cukup ekstrem.
Saham Nvidia, pemasok chip AI terbesar di dunia merosot hampir 17 persen dalam satu hari, kehilangan nilai pasar sebesar 588,8 miliar dolar AS. Penurunan ini bahkan mencetak rekor sebagai kerugian terbesar dalam satu hari yang pernah dialami saham manapun.